INDONESIA DALAM BERITA DUKA

Kelaparan di Negeri Superkaya

Oleh Benny Susetyo Pr

Tragedi Daeng Besse, keluarga miskin di Makassar, yang meninggal dunia diduga akibat kelaparan sangat memilukan. Dalam waktu berdekatan juga dilaporkan berbagai kasus kelaparan dan gizi buruk di berbagai daerah. Ada apa sesungguhnya yang terjadi pada bangsa ini?

Kasus kematian bayi akibat busung lapar terus terjadi. Penderitaan demi penderitaan yang dialami rakyat kecil bahkan sudah menjadi pemandangan sangat biasa yang tidak terlalu mengundang keprihatinan penguasa untuk melakukan reorientasi visi dan kebijakan ekonominya.

Hal ini tidak bisa terlepas dari pilihan dasar kebijakan ekonomi yang sedang dan akan ditempuh oleh penguasa. Orientasinya masih dalam rangka menyelamatkan nasib kaum pemodal internasional dan memelihara keuntungan. Orientasi kemandirian ekonomi hancur karena keyakinan penguasa tentang begitu mudahnya modal didapatkan dari utang luar negeri.


Kasus kelaparan di berbagai daerah semakin memperburuk daftar panjang kasus kemiskinan di negeri ini. Sayangnya kita belum bisa membaca peringatan itu dengan baik. Kelaparan, gizi buruk, penyakit polio, busung lapar, dan seterusnya adalah pertanda dari Tuhan agar bangsa ini bisa dan mau menyadari adanya polaritas yang amat tajam antara elite yang kaya raya dan rakyat jelata. Peringatan itu diberikan karena realitas hidup kaum berkuasa dan berduit dibandingkan kaum yang dikuasai dan tidak punya duit begitu amat timpang.

Yang ingin dinyatakan, kasus kelaparan dan lainnya adalah kasus yang menyentuh kalbu kemanusiaan. Kasus ini seharusnya bisa memberikan penyadaran bahwa di tengah gegap-gempita perebutan akses jabatan dan uang di Jakarta oleh elite-elite kita, generasi kita menghadapi hidup yang sulit bahkan mengenaskan. Kasus kelaparan ini memerlukan solidaritas sosial, sebagaimana diajarkan oleh iman agama apa pun, dan merupakan tanggung jawab dari seluruh komponen bangsa ini.

Negara Sibuk


Apa yang terjadi di sebagian besar masyarakat kita, di pinggiran kota ataupun di pedalaman, sebenarnya adalah cermin keseluruhan bangsa ini. Kemewahan dan keberlimpahan pada sebagian sangat kecil masyarakat kita bukanlah wajah bangsa ini. Sesungguhnya wajah bangsa ini, apabila dihadapkan pada cermin atau dilihat dari luar, adalah wajah kemiskinan dan kebodohan.

Peristiwa kelaparan, busung lapar, polio, dan kekurangan gizi ternyata masih menjadi masalah mendasar dan akut pada bangsa yang sudah merdeka lebih dari setengah abad ini. Peristiwa ini mencerminkan kelalaian negara melindungi dan menyejahterakan kehidupan masyarakat.

Negara sibuk dengan persoalannya sendiri, yang sering jauh dari apa yang dihadapi masyarakat secara riil. Negara menjadi entitas “lain” yang seolah-olah tak ada kaitannya dengan masyarakat. Dan masyarakat juga menjadi entitas “lain” yang tidak memerlukan uluran bantuan kesejahteraan dari negara. Keduanya dipisahkan oleh kepentingan politik-ekonomi penguasa yang abai terhadap kepentingan rakyat.

Kasus kelaparan menjadi kasus yang amat memalukan negeri supersubur ini. Koes Ploes pun sejak lama sudah berdendang, negeri kita adalah tanah sorga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman! Kalau kasus ini terjadi di negeri yang kering-kerontang, tanpa hujan, tanpa kesuburan, tanpa sumber daya alam lainnya mungkin kita maklum. Kasus ini terjadi di negara yang amat subur dengan sumber daya alam yang melimpah.

Lalu mengapa ada anak ayam mati di lumbung padi?

Tentu ada persoalan besar yang kita hadapi, sehingga nasi di depan mata tidak bisa kita makan sepuas hati. Ada persoalan besar ketika fenomena orang kekenyangan dan kelaparan hidup berbarengan tanpa ada rasa bersalah atau yang dipersalahkan. Kalau 200 juta lebih penduduk Indonesia hidup dalam kelaparan mungkin kita tidak akan menggugat persoalan ini.

Kita menghadapi persoalan sebagian besar masyarakat Indonesia hidup kurang layak. Sebagian kecil masyarakat kita hidup berkelimpahan. Memang itu adalah kewajaran dalam dunia sosial, namun menjadi tidak wajar ketika sebagian orang mempertanyakan dari mana dan dengan cara apa cara hidup kenyang mereka dapatkan.

Hutan Digunduli

Harta negara habis diperebutkan oleh orang-orang “pintar” dengan berbagai macam dalih. Hutan kita habis digunduli oleh orang yang punya modal sekaligus memiliki akses pada kekuasaan preman.

Kita hidup di negeri superparadoks. Negara kita berkonstitusi melindungi fakir miskin, tapi kenyataannya apa yang mereka perbuat kepada fakir miskin adalah menggusur dan mengusir.

Kenyataan-kenyataan itulah sedikit dari sekian banyak persoalan yang membuat rakyat Indonesia kelaparan di tengah lumbung padi. Lumbung padi di sekitar mereka itu bukan milik mereka sendiri, tetapi milik orang-orang berdasi di ujung sana.

Masyarakat kita tengah sakit dan hampir tak berdaya menghadapi persoalan-persoalan yang sedikit banyak, langsung atau tidak, diakibatkan oleh pengelolaan negara yang tidak benar. Yaitu pengelolaan negara yang lebih memihak kepada orang kenyang daripada orang lapar. Yang lebih memihak kaum pemodal daripada masyarakat marjinal.

Dengan kasus seperti ini pelajaran berharga yang bisa kita petik adalah protes keras terhadap kesadaran kalangan pejabat pemerintahan yang kurang memperhatikan nasib rakyat. Makna di balik kasus ini adalah masyarakat membutuhkan pertolongan dengan segera. Anak-anak membutuhkan gizi yang cukup. Orang tua perlu mendapatkan pekerjaan yang layak agar bisa memberikan penghidupan yang layak bagi generasi baru Indonesia. Jika ini tidak disikapi dengan serius, kita akan memiliki sebuah fase generasi yang hilang (the lost generation).

Pemberdayaan masyarakat tidak bisa lagi mengacu semata-mata pada model atas-bawah, yakni turunnya proyek pembangunan dari atas ke bawah, dan ketika di bawah sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan karena dana proyek sudah dipotong habis. Model pemberdayaan masyarakat harus dimulai dari masyarakat sendiri, usulan masyarakat sendiri untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang berkembang dalam dirinya sendiri (bottom-up).

Pemerintah harus memfasilitasinya melalui pendidikan dan pelatihan. Harus dimengerti kemiskinan bukanlah masalah miskin itu sendiri. Ia berkawan dekat dengan kebodohan dan ketidakberdayaan.

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya mutlak bagi penanggulangan kemiskinan di negeri ini, selain political will yang serius.

Pemberdayaan ini bertujuan menekan perasaan ketidakberdayaan masyarakat bila nanti berhadapan dengan struktur sosial politik di mana orang miskin tersebut tinggal. Lalu setelah kesadaran kritis muncul, upaya-upaya memutus sifat hubungan yang eksploitatif terhadap lapisan orang miskin perlu dilakukan.

Terakhir harus diingatkan bahwa busung lapar telah menjadi ancaman serius terhadap masa depan negeri ini. Di antara mereka umumnya adalah balita. Akibatnya, meskipun penderita gizi buruk bisa bertahan hidup dan tumbuh menjadi dewasa, mereka akan menderita kelemahan mental, pertumbuhan fisik terlambat, dan rentan terhadap penyakit.

Penulis adalah budayawan dan Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute

KOPI SUPER XTRAK


Anda para penggemar kopi, siapa yang tidak kenal dengan kopi luwak. Kopi mahal dan harus melalui proses pembuatan yang unik serta tidak terlepas dari peranan hewan bernama luwak. Betapa tidak, kopi ini diolah di dalam perut luwak. Namun justru inilah yang membuat rasa khas kopi luwak.

Luwak, sejenis musang adalah hewan nokturnal atau biasa aktif di malam hari. Berbeda dengan jenis musang lainnya, moncong luwak sedikit lebih runcing dengan bulu berwarna putih atau abu-abu di dahi serta ekor berwarna hitam polos. Umur mamalia ini bisa mencapai 10 tahun.

Luwak hanya makan buah kopi yang matang sempurna. Pencernaan luwak juga unik, yakni hanya mencerna daging buah kopi. Biji kopi tidak ikut tercerna. Selama berada di dalam perut luwak, biji-biji kopi difermentasi dan bercampur dengan sejumlah enzim dalam usus. Sekitar 12 jam setelah ditelan, biji-biji kopi dikeluarkan kembali. Tentu bercampur bersama kotoran.

Walau semula tampak kotor, biji-biji itulah yang jadi kopi kampiun. Harganya pun amat tinggi. Saat ini di pasar internasional harga kopi luwak berkisar US$ 100 hingga US$ 350 atau Rp 1 juta sampai Rp 3,5 juta per kilogram. Bandingkan dengan kopi lain bermutu baik yang bisa didapat dengan harga Rp 75 ribu per kg. Harga bisa melambung demikian tinggi juga karena pasokan kopi luwak masih sangat terbatas. Hanya beredar sekitar 500 kg di pasar internasional setiap tahun.

Bubuk kopi luwak tidak bisa begitu saja dilempar ke pasar. Bubuk kopi ini harus melewati uji cita rasa untuk membuktikan kualitas sesuai dengan reputasinya. Pengujian yang disebut cup test ini hanya bisa dilakukan tenaga ahli yang telah memiliki sertifikasi dari badan penelitian kopi berstandar internasional.

disunting dari berbagai sumber

Film Nyai Siti Atau De Stem Des Bloeds (Suaranya Darah)1 Keluaran The Cosmes Film Corporation di Bandung


Panorama2, No. 175, 10 Juni 1930, Tahun ke 4

Pada malam Minggu tanggal 22 Maret telah kita saksikan film dengan judul di atas, yang dipertunjukkan di Happy Cinema di Pancoran, Batavia. Sudah menjadi kebiasaan kami untuk menulis pandangan atas film-film keluaran Indonesia, maka film yang satu ini pun tidak ingin kami kecualikan, apalagi film ini keluaran pertama dari satu pabrik film yang baru lahir, yang belum diketahui bagaimana kualitas produksinya.

Berbeda dengan film-film buatan Tan’s Film Company yang ditujukan terutama untuk penonton kelas murah, film ini sebagai produksi pertama dari The Cosmos membuat kita berasumsi bahwa film ini diciptakan untuk “makanannya” penonton kelas mahal. Bukan saja untuk bangsa Eropa di Indonesia, tapi juga dimaksudkan untuk mendesak pasar-pasar film di negeri-negeri Barat, terutama di Holland. Bukan saja cerita yang dipilih dianggap mampu menarik perhatian golongan kulit putih, yaitu kehidupan pengebun di pabrik-pabrik di Priangan, dengan menyertai gambaran dari kehidupan dan kepercayaan Bumiputera. Gambaran pemandangan pertanian dan perburuan di hutan-hutan lebat di Jawa dan Sumatera, tapi juga, yang membuat kami heran, keseluruhan teksnya bahasa Belanda, yang pasti saja membuat jengkel sebagian besar penonton yang malam itu duduk berjejal di Happy Cinema yang ingin menyaksikan film baru keluaran Indonesia. Belakangan kita diberi keterangan oleh salah satu pengurus The Cosmos bahwa teks bahasa Melayu sedang dipersiapkan. Film yang diputar malam itu memang bukan untuk dipertunjukkan dalam gedung bioskop di kampung Tionghoa, tetapi lantaran ada halangan, film dengan teks Melayu belum bisa diputar dan terpaksa memutar yang berteks bahasa Belanda saja.

Jalannya cerita seperti di bawah ini:
Seorang Belanda bernama van Kempen, administrator dari pabrik teh Tjiranoe, memiliki isteri simpanan, seorang pemetik teh bernama Sitti, sebagai Nyai. Darinya ia mendapatkan dua anak, seorang lelaki yang diberi nama Adolf, dan seorang perempuan, dinamakan Annie. Ketika van Kempen berangkat dengan meninggalkan mereka, Nyai dan anak-anaknya, ke Eropa. Mereka hanya dikirimkan uang belanja setiap bulan saja. Di Eropa van Kempen menikah dengan seorang janda yang dari suaminya dulu memiliki seorang anak perempuan bernama Ervine, dan van Kempen tinggal di Eropa sampai 15 tahun lamanya, dan kemudian kembali ke Indonesia.

Selama tuannya di Eropa, Sitti dan anak-anaknya menumpang pada Oomnya, Karta, yang mencari penghidupan sebagai pemburu binatang buas. Atas nasehat Oomnya itu, Sitti pergi memuja di tempat-tempat suci dan keramat. Antara lain, meriam Si Djagoer di Kota Inten3, Batavia dan juga pergi ke seorang dukun, meminta doa dan guna-guna supaya van Kempen tidak lupa padanya dan cepat kembali ke Jawa. Dua anak itu pun bertambah besar dan hidup sebagai pemburu yang keluar-masuk rimba yang lebat. Terkadang Adolf mengikuti Oomnya pergi berburu, hingga ia mengerti betul dalam menggunakan senjata api. Meskipun ia hidup seperti Bumiputera, tinggal dalam rumah gubuk di tengah hutan, dan Annie biasa memakai sarung dan kebaya sebagai perempuan Sunda, tetapi dua anak itu dengan giat telah mempelajari huruf dan bahasa Belanda.

Ketika van Kempen kembali ke Jawa bersama anak tirinya yang perempuan, karena isterinya telah meninggal, ia ditempatkan sebagai administrator dari pabrik teh Tjikawoe yang pernah bekerjasama dengan Tjiranoe. Kawan sejabat yang menggantikan van Kempen di Tjiranoe bernama Frederick, seorang kacung berhidung putih, lantas ia tergila-gila pada Ervine, anak tiri dari van Kempen yang sudah remaja. Tapi tidak meladeni tingkah laku Frederick yang genit. Waktu pertama kali bertemu, van Kempen menanyakan tentang Sitti kepada Frederick, tapi collega itu bilang ia tidak tahu dimana keberadaan perempuan itu. Meskipun van Kempen selalu ingat pada Nyai, karena Sitti masih juga bakar menyan tiap hari dan membuat van Kempen ingat padanya, tetapi ia tidak mendapat jalan untuk bertemu.

Pada suatu hari, ketika Ervine jalan-jalan sendirian di hutan, ia bertemu (katanya dikejar) oleh satu menjangan yang membuat gadis itu begitu ketakutan hingga akhirnya jatuh pingsan. Kebetulan ada Adolf yang ketika mendengar teriakan minta tolong si Nona datang pada waktu yang tepat. Ia yang menyadarkan Annie dan mengantarkan pulang ke rumah ayahnya. Meskipun baru satu kali . . .4 bertemu, van Kempen . . . tertarik pada Adolf yang . . . seperti ia sudah pernah . . . ingat waktu . . . Akhirnya akan . . . itu pemuda yang . . . pulang anak . . . pekerjaan sebagai . . . pabrik . . .

Segera juga antara Ervine dan Adolf timbul persahabatan erat. Bukan saja pada Pengawas itu, juga pada saudara perempuannya, Annie, Ervine pun bergaul secara kawan. Ketika ia [Ervine] perkenalkan Annie pada ayahnya, kembali van Kempen kena pengaruh dari “Suaranya Darah” itu karena ia merasa pernah bertemu pada gadis itu, tetapi tidak tahu kapan dan di mana.

Persahabatan antara Ervine dan Adolf lama-lama berubah menjadi percintaan. Yang mana hal itu membuat Frederick sakit hati yang selalu mencoba untuk memikat hati Ervine namun sia-sia. Untuk membalas Adolf, ia menyuruh mandornya menyerang pemuda itu, tapi ketika penyerangan itu gagal karena Adolf terlalu gagah dan kuat, ia menggunakan akal busuk dengan menghasut seantero kuli-kuli dari Tjikawoe untuk melakukan pemogokan, tidak ada satu pun yang bekerja, dan bersamaan dengan itu Frederick menghasut van Kempen bahwa pemogokan itu terjadi lantaran kuli-kuli tidak suka pada Adolf. Dan hasutan ini telah memakan, meskipun hatinya merasa berat, van Kempen terpaksa memecat Adolf karena Direktur itu tidak mau terjadi kekacauan di pabrik lantaran seorang Pengawas. Begitulah Adolf yang kini tidak punya pekerjaan, terpaksa kembali jalani kehidupan sebagai pemburu, dan tempat-tempat yang ia kunjungi untuk menembak binatang buas, antara lain ke Tegal Waroa, dekat Krawang, berburu banteng, dan ia ke Lampung, Sumatera, akan berburu gajah.

Selama Adolf tidak ada, pada suatu hari Frederick bertemu Annie ketika berjalan di kebun bersama ibunya. Ia yang telah tergila-gila pada gadis itu dan akan melakukan segala akal untuk dapatkan Annie, ketika Adolf kembali dari perburuan dan mendengar perbuatan Frederick, ia pun gusar dan mencegat administratur itu di pinggir sungai yang kemudian ia susrukkan mukanya Frederick ke dalam lumpur. Ketika hal ini terjadi, Ervine kebetulan ada di dekat situ dan merasa puas Frederick mendapat bagiannya. Tidak lama kemudian, Ervine pergi ke pondok Adolf untuk mencari lelaki yang ia cinta. Di tengah hujan lebat ia sampai di pondok itu dalam keadaan separapangsan. Ia disambut oleh Adolf, Annie dan ibunya, lalu disuruh salin pakaian sebagai orang Bumiputera dan menginap di pondok. Adolf mengirim satu anjing membawa surat untuk memberitahu van Kempen keberadaan Ervine.

Ayah tiri itu merasa khawatir sekali karena sampai malam anaknya belum kembali. Dengan diantar beberapa bujang yang bawa obor, van Kempen masuk ke dalam hutan untuk mencari. Akhirnya datang anjing yang membawa surat itu, hingga tidak susah baginya untuk mencari, dan di pondok itu van Kempen bertemu dengan Siti dan baru tahu kalau Adolf dan Annie itu adalah anak-anaknya sendiri.

Kami sudah katakan cerita ini dibuat dengan tujuan supaya bisa dipertunjukkan juga di Eropa atau Amerika. Buat penduduk di luar negeri yang jauh, yang tidak mengenal kehidupan disini, boleh jadi cerita ini dianggap lumayan juga. Selain cerita, dalam film itu juga dilukiskan banyak pemandangan tentang kehidupan di Jawa, seperti hal mengusahakan sawah: menanam dan memotong padi, pertunjukkan wayang orang yang katanya diselenggarakan sebagai pesta selamatan tanda selesainya potong padi, pencak perempuan, perburuan banteng di Tegal Waroe dan perburuan gajah di Lampung yang semua memang sangat berharga untuk dilihat oleh orang-orang asing yang ingin tahu keadaan di Indonesia. Dalam pondoknya Karta, itu pemburu, dimana Siti dan anak-anaknya menumpang, juga dipiara banyak monyet dan lutung yang tingkahnya lucu, bisa tertawa dan cengir, hingga tentu saja membuat orang-orang asing jadi tertarik hatinya. Tapi bagi orang yang sudah lama tinggal di Jawa dan kenal baik dengan keadaan di pabrik, jalannya cerita De Stem des Bloed penuh dengan kekalutan dan kegagalan, bertentangan dengan keadaan yang sesungguhnya terjadi.

Dalam cerita itu dilukiskan bagaimana Siti dan van Kempen selalu ingat satu sama lain, Siti tidak pernah berhenti membakar menyan untuk melepas guna-guna agar tuannya itu lekas kembali padanya, sedang van Kempen sebentar-bentar teringat Siti yang selalu terbayang-bayang dalam pikiran sejak ia di negeri Belanda. Ada hal yang aneh, setiap hari pimpinan dari satu pabrik itu teringat pada Nyai lalu menikah lagi dan tinggal di Eropa limabelas tahun lamanya, sedang ia pulang ke tanah air dengan meninggalkannya. Juga ada hal yang hampir belum pernah terjadi, seorang perempuan Sunda yang muda dan cantik bisa hidup sendiri limabelas tahun lamanya. Tanpa bersuami lagi. Siapa yang menghidupi perempuan-perempuan Sunda yang menjadi Nyai di pabrik, tentu menganggap kesetiaan Sitti pada van Kempen adalah satu mukjizat. Karena biasanya, seorang Nyai yang ditinggal oleh tuannya limabelas tahun, akan menikah dengan lelaki lain, barangkali limabelas kali!

Tapi biarlah kita anggap saja Sitti seorang Nyai Sunda luar biasa, yang tabiatnya berbeda dengan perempuan-perempuan lain, tapi toh masih tidak masuk diakal van Kempen –sesudahnya balik ke Jawa– tidak dapat mengetahui dimana keberadaan Sitti yang menurut keterangan Frederick, tidak diketahui tempat tinggalnya. Kalau menurut film itu –tempat tinggal Sitti tidak seberapa jauh dari Tjikawoe dan Tjiranoe– hingga siapa pun yang bekerja di pabrik itu, tentu akan lantas mengetahuinya, biarpun pondoknya ada di tengah hutan yang lebat. Orang tidak bisa melupakan bekas Nyainya “juragan penguasa” dari Tjiranoe, dengan dua anaknya. Apalagi tuannya itu telah pergi ke Eropa dan van Kempen biasa mengirimkan uang pada Nyai. Selain itu, Sitti tidak hidup sebagai seorang pertapa, sedang Adolf dan Annie biasa bergentayangan di sekitar pabrik. Penggantinya van Kempen, Frederick, harusnya ia tahu kalau collega itu meninggalkan seorang Nyai dengan dua anaknya. Maka terlihat aneh ketika ditanya oleh van Kempen, Frederick tidak tahu alamatnya Sitti. Kalau van Kempen berniat mencari tahu, mudah sekali mengusutnya, ia bisa cari informasi ke kantor pos untuk menemukan orang yang biasa terima uang yang ia kirimkan dari Eropa, dan di pabrik, mandor dan kuli-kuli akan mengusut dimana adanya Nyai kalau saja van Kempen memberi perintah.

Yang lebih aneh lagi, meski Adolf sudah bekerja di bawah perintahnya van Kempen, Sitti tidak tahu kalau tuannya sudah kembali. Datang dan perginya sseorang pimpinan, pengawas atau mandor biasanya akan lekas tersiar kabarnya ke seluruh pabrik. Yang sangat mustahil, Sitti atau Karta tidak pernah cerita pada dua anaknya, siapa ayahnya. Dan amat tidak mungkin bagi van Kempen dan Ervine –sejak Adolf bekerja sebagai pengawas yang juga berhubungan keluarga dengan Annie– untuk tidak mencoba cari tahu siapa keluarga, ibunya, dan di mana tempat tinggal dua anak itu.

Semua ini keganjilan yang sangat bertentangan dengan kehidupan yang sebenarnya dalam kalangan pabrik-pabrik di Priangan dan membuat penonton yang biasa menyaksikan film-film yang teratur rapih jadi menyesal dan dongkol. Apalagi kalau mengingat –dengan adakan sedikit perubahan saja– semua sifat botjingli bisa disingkirkan. Tidak susah untuk menggambarkan bagaimana Karta telah mengajak Sitti dan anak-anaknya pindah ke Sumatera dimana ia bisa dapat kehidupan yang baik dengan berburu gajah. Ia kembali ke Tjiranoe sesudah van Kempen datang lagi di sana.

Selain jalan cerita yang pengaturannya salah, banyak bagian kecil-kecil yang tidak masuk diakal. Tidak ada satu nyai pun yang sesudah tuannya pergi limabelas tahun masih terus membakar menyan di kehidupan yang sebenarnya untuk membuat si Tuan ingat dan cinta lagi padanya. Tidak ada satu pun perempuan di dunia yang punya kesabaran seperti itu, membakar menyan limabelas tahun terus-menerus hanya agar untuk dirinya dicintai oleh satu lelaki!

Pemilihan cara Ervine mendapatkan bahaya hingga ia ditolong oleh Adolf pun kurang tepat. Menjangan bukan binatang buas yang akan membuat seorang gadis lari sungsang sumbel hingga jatuh pingsan, apalagi dalam itu film tidak terlihat menjangan mengejarnya. Menurut keterangan pengurus film, awalnya hendak membuat adegan Ervin dikejar oleh monyet besar tetapi binatang yang sudah dijanjikan itu tidak didapatkan dan terpaksa ditukar oleh menjangan. Kita lebih setuju kalau Ervine mendapatkan bahaya dililit ular besar yang mudah sekali didapat, dan bisa digantikan dengan ular palsu atau ular mati waktu melilit badannya.

Lain hal lagi yang tidak masuk diakal adalah waktu Adolf diganggu oleh seorang pembantu yang pahanya tertembak senapan angin kemudian mengganggu Adolf tidur di bale-bale dengan memberi hidung panjang padanya. Seorang sinyo yang gagah dan pandai menembak pada umumnya menjadi jagoan di desa hingga tidak ada orang kampung yang berani main gila dengannya. Apalagi seorang pembantu, Adolf yang sabar tak pedulikan segala kurcaci. Itu juga bertentangan dengan kehidupan yang sebenarnya.

Hal mengirim anjing yang membawakan surat untuk van Kempen yang sedang mondok di tengah hutan, [isi surat] untuk segera menemui Ervine, itu pun terlalu berlebihan. Karta dengan mudah akan menyuruh seseorang untuk membawakan surat itu pada juragan penguasa Tjikawoe tanpa harus menyuruh seekor anjing yang hanya dipakai dalam film cowboy sewaktu perang dengan bangsa Indian atau sewaktu berkelahi dengan kawanan penjahat. Bagi penonton yang hanya ingin saksikan keanehan, boleh jadi seekor anjing bisa disuruh membawa surat dianggap ada menarik. Tapi bagi orang yang suka menonton film dengan cerita berstruktur rapih dan berdasar dengan cingli, bagian ini membuat perasaan seperti minum sirup terlalu manis atau sayur kebanyakan garam.

Satu kesalahan kecil lagi nampak waktu van Kempen menyerahkan pekerjaan pada penggantinya ketika ia hendak berangkat mudik. Yang diberikan hanya satu buku yang ditandatangani oleh Frederick dan van Kempen. Siapa pun yang pernah bekerja di pabrik akan tahu, buku-buku yang digunakan pasti banyak dan penyerahan itu tidak mungkin terjadi di pinggir serambi tempat duduk minum kopi pahit. Pasti di dalam kantor pimpinan yang isinya meja tulis, daftar statistik, contoh-contoh, kartu kebun dan banyak buku-buku.

Kesalahan lain yang penting kita dapatkan ketika Sitti diambil menjadi nyai. Begitu ia diantar masuk oleh mandor ke gedung pimpinan, di lain bagian lantas ia kelihatan berjalan-jalan di kebun bersama dua anaknya, laki-laki dan perempuan. Lantaran alihteksnya guram dan hanya sebentar hingga tidak dapat terbaca utuh. Kita tidak tahu apa yang dikatakannya, hingga kita –dan juga penonton lainnya– sudah membaca Sitti akan dipekerjakan seperti babu. Bukankah ia [Sitti] dan dua orang anaknya yang didapat dari van Kempen menjadi noni dan sinyo…kehidupan seperti suami isteri dengan van Kempen tidak terlihat sama sekali!

Tentang pengolahan tehnik dari itu film, kita dapatkan cara yang paling besar ada dan ia punya alihteks yang hurufnya berwarna merah, yang tidak saja buram tetapi juga terlalu cepat hilang hingga orang baru saja membaca, separuh sudah lenyap dari pandangan. Cosmos Lim Corporation harus belajar dan ambil teladan pada Tan’s Film Company yang alih teks-teksnya hampir tidak ada celah.

Satu kekeliruan lain yang nampak ketika melukiskan kehidupan petani bekerja di tengah sawah dengan warna film seperti sinar layung. Petani tidak bekerja di sawah pada sore hari, hanya di waktu pagi atau siang. Mengapa tidak memakai warna hijau muda atau biru?


Catatan
1 De Stem Des Bloed (Nyai Siti), terbit tahun 1930. Jika mengacu dari Loetoeng Kasaroeng yang terbit tahun 1926, film ini tergolong generasi awal film Indonesia (urutan kesembilan jika berlandas Katalog Film Indonesia 1926-2007 suntingan JB Kristanto). Film ini disutradarai oleh Ph Carli.
2 Panorama, majalah ini pertama kali terbit tahun 1926 dan dijual pada tahun 1931. Terbit setiap bulan tiga kali yang diberi harga 3 gulden. Berkantor di Prinsenlaan 69 dan dipimpin oleh Kwee Tek Hoay.
3 Kota Inten, nama kawasan kota tua Betawi di sebelah timur Prinsen-straat (kini Jalan Tongkol), dekat pintu gerbang tol Gedong Panjang (arah Pluit-Tanjung Priok)
4 Dalam naskah aslinya, bagian ini tidak ada, hancur karena termakan usia.

Biografi Singkat Penulis
Kwee Tek Hoay lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 31 Juli 1886 dan meninggal di Cicurug-Sukabumi, Jawa Barat pada 15 Juli 1951 akibat perampokan yang terjadi di rumahnya. Ia salah seorang penulis produktif di masanya. Banyak menulis artikel, mulai dari kebudayaan, sastra, teater, sinema, hingga politik, di berbagai surat kabar seperti Sin Po, Sin Bin, Sam Kauw Goat Po, Moestika Panorama, Moestika Dharma, selain di majalah yang ia dirikan sendiri, Panorama. Ia juga menulis beberapa buku sastra baik karyanya sendiri ataupun terjemahan seperti Bhagavad Gita karya Rabindranath Tagore yang diterbitkan tahun 1935. Menulis beberapa buku sejarah dan politik yang telah diterbitkan berbagai bahasa. Naskah drama seperti Korbannya Kong Ek pernah dimainkan oleh Opera Dardanella di tahun 1930. Penulisan sinema yang termuat dalam majalah Panorama ia menulis antara lain; kritik film Si Tjonat, De Stem des Bloed (Suaranya Darah), Njaie Dasima 1, 2 dan 3 [judulnya Nancy Bikin Pembalesan], dan Melati van Agam.

disunting dari:jurnalfootage